• F***ing 20 minutes
    (just because i've done it in 20 minutes haha)

    Pernah merindukan orang sampai hampir gila rasanya? Atau merindukan sesuatu yang semu? Merindukan orang yang tidak nyata? Mengingini namun tak mampu memiliki?

    Dulu, saya tidak terlalu peduli dengan status kepemilikan saya. I’m single and fucking free!! Tidak peduli dengan lagu cinta penuh kegalauan di radio. Tidak ingin terikat dengan hubungan apapun. Tidak siap disakiti oleh siapapun.

    Nyatanya, seiring berjalannya waktu, pertahanan saya mulai runtuh. Kekosongan di hati ini mulai sedikit terasa. Ingin menyangkal, tapi hati tak mau. Mulai merasa sepi. Mulai terasa rindu . Mulai mengingini.

    Jangan salah. Saya menikmati hidup sebagai “single”. Bebas pergi kemana saja, dengan siapa saja tanpa harus minta izin pada pihak-pihak yang sebenarnya tidak berwenang. Menikmati momen-momen bahagia bersama keluarga dan teman-teman terdekat. Bebas dari problema disakiti dan menyakiti.

    Hanya saja, ketika rasa rindu itu datang, saya tak sanggup menolaknya. Menghentikan jalannya. Rindu itu terus-terusan menerjang tanpa henti. Saya merindukan hal-hal yang bahkan tidak ada. Merindu pelukan yang akan memberi kehangatan. Merindu tangan yang akan menuntun untuk menyeberang jalan. Merindu bahu tempat bersandar ketika dunia sudah terasa begitu menyebalkan. Merindu telinga yang selalu setia mendengar setiap keluh kesah. Merindu bibir yang akan berkata-kata manis nan gombal namun penuh kejujuran. Merindu mata yang akan menatap penuh rasa sayang. Merindu hati tempat rasa rindu ini harus disampaikan. Mengingini hati tempat semua rasa ini harus berlabuh.

    Begitu rindu. Rindu ini, rindu yang menyakitkan.

  • Through The Eyes

    Jika waktu bisa diputar kembali, saya ingin sekali kembali ke masa lalu. Menarik kembali kata-kata yang tidak seharusnya terucap. Mengubah keputusan-keputusan yang salah. Menghapus kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Tapi waktu tidak bisa diputar kembali. Ia terus berjalan tanpa henti. Membuat saya tertatih-tatih mengejarnya. Bukankah itu hal yang baik? Waktu yang terus berlari kencang tak akan mengizinkan saya beristirahat sedetik pun untuk melihat masa lalu. Menyesali kenangan-kenangan yang tak seharusnya terjadi. Maka saya pun ikut berlari mengejar waktu, tak mengizinkan diri kalah darinya.

    Kemudian saya menemukan diri terjatuh. Tak mampu lagi mengejar. Terdiam dan merenung. Menangis dalam sunyi. Memikirkan berpuluh-puluh hal dan keputusan yang telah saya buat dalam hidup. Menyesal. Mengapa memilih ini? Mengapa meninggalkan ini? Mengapa tidak berbuat ini? Mengapa terjadi ini? Saya jatuh dalam gelapnya penyesalan dan habis-habisan menyalahkan diri sendiri.

    Buat saya, menyesal itu adalah proses menikmati rasa sakit karena tidak dapat memiliki apa yang kita inginkan, mengulang waktu yang telah hilang, mengubah keputusan yang salah, mendapatkan apa yang sudah kita lewatkan. Seperti masokis, saya melebur dalam sakit itu, memeluknya dan menikmatinya. Mengingat setiap kesalahan yang diperbuat, merasakan setiap sesal yang menusuk dan mengasihani diri sendiri yang begitu bodoh dan menyedihkan.

    Orang bilang sesal tak ada gunanya. Saya tahu. Tapi apa salah jika hanya sekali saja, saya biarkan diri saya jatuh. Ketika saya sudah begitu lelah mengejar waktu. Ketika saya begitu muak berpura-pura bahwa semua akan baik-baik saja. Terpuruk dalam sesaknya penyesalan karena hal-hal yang tidak lagi bisa diubah.

    Saya tahu penyesalan tiada gunanya. Tapi, izinkanlah saya menikmati rasa sakit ini sebentar saja. Hanya sebentar. Mengulang sedikit masa lalu dan membiarkan diri saya terjebak dalam penyesalan di dalamnya. Hanya sebentar. Saya janji ketika saya sudah bisa berdamai dengan masa lalu, saya akan kembali ke masa sekarang. Bangkit dan berlari sekencangnya, karena waktu sudah meninggalkan saya begitu jauh.