• Hidup dan tumbuh bersama keluarga yang tak satupun memiliki latar belakang seni membuat saya percaya bahwa tidak mungkin ada sedikit pun darah seni yang mengalir di tubuh saya. Kepercayaan ini mulai luntur ketika saya menginjak kelas 2 SMA. Seorang guru seni rupa memperkenalkan saya pada pelajaran melukis. Saat itu, saya tak pernah tahu bahwa melukis bisa begitu menyenangkannya. Saya tak pernah sadar bahwa mencampur warna-warna dan menggabungkannya ke sebuah kertas bisa membuat saya begitu bahagia.

    Sejak saat itu, saya banting setir mengubah cita-cita dari ingin menjadi seorang ilmuwan laut menjadi seniman hahah. Itu adalah salah satu keputusan terbesar yang pernah saya buat sendiri dalam hidup saya, tanpa paksaan siapa pun dan dalam keadaan sepenuhnya sadar. Sayangnya, hidup memang tidak semulus jalan yang baru diaspal. Beberapa “pihak-pihak yang berwenang” tidak menyetujui keputusan itu.

    Tahun terus berjalan. Rumput masih berwarna hijau. Matahari masih bersinar di timur. Dan keputusan saya masih belum berubah. Keputusan itu masih seteguh batu karang di laut. Yang sayangnya, masih sama teguhnya dengan ketidaksetujuan pihak-pihak yang berwenang tersebut.

    Kini, jalan sudah membawa saya ke arah yang betul-betul menyimpang dari keputusan awal. Walau begitu, bukan berarti saya sudah menyerah. Saya masih percaya. Tetap percaya. Bahwa di ujung jalan itu, kelak akan saya temui diri saya sebagai seorang seniman. Yang mencintai hidupnya. Yang mencintai pekerjaannya.

    Dan hingga saat ini saya masih terus berjuang, berjalan, merangkak dan berlari menuju tujuan itu. All thanks to you, guys. Terima kasih buat semua dukungan yang kalian berikan di setiap karya saya. Terima kasih buat setiap like dan komentar di lukisan saya. Terima kasih buat setiap waktu yang sudah kalian luangkan untuk menonton video dance saya atau membaca tulisan-tulisan di blog saya.

    Percayalah, it means a lot to me. Bahkan hal-hal sesimple menyebut saya seorang seniman atau dancer terkadang mampu membuat saya menangis bahagia  J Saya sadar, sangat sadar bahwa karya-karya saya belumlah seberapa, kemampuan saya juga tidak sebegitu hebatnya, bahkan hingga saat ini pun saya belum bisa menjual satu pun lukisan saya.  Tapi, saya akan terus berusaha dan tidak akan berhenti menghasilkan karya-karya lainnya. Karena sejak dulu hingga sekarang, keputusan saya belum berubah. Dan tidak akan berubah. Saya ingin menjadi seorang seniman.

    TERIMA KASIH BUAT SEMUANYA! J

    [Mengerjakan seni membuat saya bahagia. Lalu, apakah saya harus mengorbankan kebahagiaan saya untuk membuat orang-orang yang saya cintai bahagia?]


  • DIAM

    . . . . . .

    Diam adalah emas. Semasa SD dulu, pribahasa tersebut sering kali terdengar di telinga saya. Kalimat itu sudah seperti slogan sejuta umat manusia. Tertulis di buku tegak bersambung, tercetak tebal di buku Bahasa Indonesia, dan terucap jelas dari mulut guru saya yang sudah muak dengan keributan kelas.

    Terus-terusan. Kalimat itu terus berputar-putar. Di mata saya, di telinga saya, di otak saya. Berulang kali. Hingga saya benar-benar yakin bahwa diam memang betul-betul akan mendatangkan emas.

    Ketika saya bertumbuh dewasa, emas itu justru mendatangkan petaka. Bagi saya. Diejek teman karena memiliki kepala besar, wajah berjerawat dan badan yang gendut, saya diam. Dan tertawa. Disuruh orang tua melakukan hal-hal yang tidak saya suka, saya diam. Dan mengerang kecil dalam hati. Disalahkan atas hal-hal yang tidak saya perbuat, saya hanya diam. Dan mengelak dalam hati. Bahkan saat dilanda masalah yang begitu runyam dan menyakitkan pun, saya tetap diam. Dan menangis.

    Saya memilih untuk diam. Bukan karena saya tak ingin berbicara. Saya hanya tak ingin kata-kata yang keluar dari lidah tak bertulang ini nantinya akan menyakiti makhluk lain yang tak perlu disakiti, membodohi makhluk lain yang tak seharusnya dibodohi, mengacaukan air yang sudah tenang dengan riak-riak yang tak seharusnya ada.

    Karena diam adalah emas. Karena diam adalah pilihan. Dan saya lebih memilih untuk menyakiti diri sendiri dengan kata-kata yang belum terucap daripada menyakiti orang lain dengan kata-kata yang tak seharusnya terucap.