DIAM
. . . . . .
Diam adalah emas. Semasa SD dulu,
pribahasa tersebut sering kali terdengar di telinga saya. Kalimat
itu sudah seperti slogan sejuta umat manusia. Tertulis di buku tegak bersambung,
tercetak tebal di buku Bahasa Indonesia, dan terucap jelas dari mulut guru saya
yang sudah muak dengan keributan kelas.
Terus-terusan. Kalimat itu terus
berputar-putar. Di mata saya, di telinga saya, di otak saya. Berulang kali.
Hingga saya benar-benar yakin bahwa diam memang betul-betul akan mendatangkan
emas.
Ketika saya bertumbuh dewasa,
emas itu justru mendatangkan petaka. Bagi saya. Diejek teman karena memiliki
kepala besar, wajah berjerawat dan badan yang gendut, saya diam. Dan tertawa.
Disuruh orang tua melakukan hal-hal yang tidak saya suka, saya diam. Dan
mengerang kecil dalam hati. Disalahkan atas hal-hal yang tidak saya perbuat,
saya hanya diam. Dan mengelak dalam hati. Bahkan saat dilanda masalah yang
begitu runyam dan menyakitkan pun, saya tetap diam. Dan menangis.
Saya memilih untuk diam. Bukan
karena saya tak ingin berbicara. Saya hanya tak ingin kata-kata yang keluar
dari lidah tak bertulang ini nantinya akan menyakiti makhluk lain yang tak perlu
disakiti, membodohi makhluk lain yang tak seharusnya dibodohi, mengacaukan air
yang sudah tenang dengan riak-riak yang tak seharusnya ada.
Karena diam adalah emas. Karena
diam adalah pilihan. Dan saya lebih memilih untuk menyakiti diri sendiri dengan
kata-kata yang belum terucap daripada menyakiti orang lain dengan kata-kata
yang tak seharusnya terucap.
0 komentar → [sketching] DIAM
Posting Komentar